Selasa, 25 Desember 2012

Konservasi Lahan Kering



Top of Form
Bottom of Form
KONSERVASI LAHAN KERING

Paradigma pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah memacu pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan sehingga eksploitasi sumberdaya alam semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan manusia. Akibatnya, sumberdaya alam semakin langka dan semakin menurun kualitas dan kuantitasnya. Tanah yang rusak/kritis sangat sulit untuk dimanfaatkan menjadi lahan yang bermanfaat, karena keterbatasan-keterbatasan dari lahan kritis itu sendiri. Tanah yang rusak dengan kekurangannya sulit untuk menjaga lengas tanah, yang berakibat pada sulitnya mendapatkan pada saat musim kemarau. Sementara itu, tanah rusak tidak dapat menyimpan air di waktu musim penghujan, sehingga hujan yang terjadi sebagian besar menjadi aliran permukaan yang dapat menyebabkan erosi permukaan.
Data Areal lahan kering di Indonesia menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam Haryati (2002) tahun 1992 menunjukkan bahwa luas lahan usahatani kritis telah mencapai ±18 juta hektar. Setelah hampir 13 tahun, lahan kritis pada tahun 2005 cukup luas yaitu mencapai 52,5 juta ha yang tersebar di pulau Jawa dan Bali (7,1 juta ha), Sumatera (14,8 juta ha), Kalimantan (7,4 juta ha), Sulawesi (5,1 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 juta ha), dan Irian Jaya (11,8 juta ha).
Potensi yang demikian besar harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, pemanfaatan lahan kering tersebut harus berhati-hati karena sebagian besar lahan kering tersebut tersebar di hulu DAS yang bentuk wilayahnya berbukit dengan curah hujan yang cukup tinggi. Kondisi demikian akan memicu erosi yang berakibat pada degradasi lahan. Lahan kering umumnya menjadikan air sebagai faktor pembatas yang utama dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, ketersediaan air menjadi sesuatu yang sangat penting dalam pengelolaan lahan kering.
Untuk dapat menjamin adanya ketersediaan air baik di musim penghujan dan musim kemarau (iklim tropis) diperlukan beberapa teknogi yang applicable dan hemat biaya karena petani lahan kering umumnya miskin. Beberapa penelitian konservasi air telah dilakukan dan diujicobakan pada berbagai tempat untuk dapat memaksimalkan simpanan air hujan dan mengoptimalkan manfaat sumberdaya air terutama di musim kemarau. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.
Terjadinya lahan-lahan kritis yang pada dasarnya berada di wilayah DAS (Daerah Aliran Sungai) tidak saja menyebabkan menurunnya produktivitas tanah ditempat terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan meresapkan air hujan yang jatuh pada kawasan DAS tersebut. Kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan terpadu pada lahan kering kritis pada wilayah DAS ini sangat relevan dalam mendukung GNKPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air) yang telah dicanangkan oleh Bapak Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 April 2005. Gerakan ini merupakan gerakan nasional terpadu antar sektor dan pemangku kepentingan lainnya yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada seluruh wilayah DAS di Indonesia.  Tulisan ini berusaha untuk menguraikan teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.
Metode Konservasi
·               Metode Vegetatif
Metode vegetatif yaitu metoda konservasi dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti tanaman penutup tanah, tanaman penguat teras, penanaman dalam strip, pergiliran tanaman serta penggunaan pupuk organik dan mulsa. Pengelolaan tanah secara vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena memiliki sifat: (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi. Fungsi lain daripada vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya yaitu memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani.
·               Metode Sipil Teknis
Metode sipil teknis yaitu suatu metoda konservasi dengan mengatur aliran permukaan sehingga tidak merusak lapisan olah tanah (Top Soil) yang bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Usaha konservasi dengan metoda sipil teknis ini yaitu membuat bangunan-bangunan konservaasi antara lain pengo-lahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, teras, dan saluran air (Saluran Pembuanga air, Terjunan dan Rorak).
Aplikasi Konservasi
1.        Pendekatan Vegetatif
·         Sistem Pertanaman Lorong
Sistem pertanaman lorong ialah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong di antara barisan tanaman pagar. Sangat bermanfaat dalam mengurangi laju limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara terutama N untuk tanaman lorong.
Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
·         Sistem Pertanaman Strip Rumput
Sistem Pertanaman Strip Rumput ialah sistem pertanaman yang hampir sama dengan pertanaman lorong, tetapi tanaman pagarnya adalah rumput. Strip rumput dibuat mengikuti kontur dengan lebar strip 0,5 m atau lebih. Semakin lebar strip semakin efektif mengendalikan erosi. Sistem ini dapat diintegrasikan dengan ternak. Penanaman dilakukan menurut garis kontur dengan letak penanaman dibuat selang-seling agar rumput dapat tumbuh baik, usahakan penanamannya pada awal musim hujan.
·         Tanaman Penutup Tanah
Merupakan tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan dengan tanaman  pokok. Tanaman penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah, (2) menambah bahan organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, dan (3) melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Peranan tanaman penutup tanah tersebut menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah, sehingga mengurangi erosi.
 Ada 4 (empat) jenis tanaman penutup tanah, yaitu :
1.    Jenis merambat (rendah) contoh : Colopogonium moconoides, Centrosoma sp, Ageratum conizoides,Pueraria sp.
2.    Jenis perdu/semak (sedang) contoh : Crotalaria sp, Acasia vilosa,
3.    Jenis pohon (tinggi) contoh – Leucaena leucephala (lamtoro gung), Leucaena glauca (lamtoro lokal), Ablizia falcataria
4.    Jenis kacang-kacangan contoh : Vigna sinensis, Doli-chos lablab (komak).
·         Mulsa
Mulsa ialah bahan-bahan (sisa-sisa panen, plastik, dan lain-lain) yang disebar atau digunakan untuk menutup permukaan tanah. Bermanfaat untuk mengurangi penguapan (evaporasi) serta melindungi tanah dari pukulan langsung butir-butir hujan yang akan mengurangi kepadatan tanah. Macam Mulsa dapat berupa, mulsa sisa tanaman, lembaran plastki dan mulsa batu. Mulsa sisa tanaman ini terdiri dari bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang jagung), pangkasan dari tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman.
Pada sistem agribisnis yang intensif, dengan jenis tanaman bernilai ekonomis tinggi, sering digunakan mulsa plastik untuk mengurangi penguapan air dari tanah dan menekan hama dan penyakit serta gulma. Lembaran plastik dibentangkan di atas permukaan tanah untuk melindungi tanaman. Di pegunungan batu-batu cukup banyak tersedia sehingga bisa dipakai sebagai mulsa untuk tanaman pohon-pohonan. Permukaan tanah ditutup dengan batu yang disusun rapat hingga tidak terlihat lagi. Ukuran batu-batu berkisar antara 2-10 cm.
Thamrin dan Hanafi (1992) telah melakukan penelitian pengaruh mulsa terhadap tanah di lahan kering. Mulsa yang digunakan adalah seresah tanaman. Hasilnya menunjukkan bahwa pemberian mulsa dapat menghemat lengas tanah dari proses penguapan, sehingga kebutuhan tanaman akan lengas tanah terutama musim kering dapat terjamin. Selain itu, pemberian mulsa juga dapat menghambat pertumbuhan gulma yang mengganggu tanaman sehingga konsumsi air lebih rendah.
·         Pengelompokan tanaman dalam suatu bentang alam (landscape)
Pengelompokan tanaman dalam suatu bentang alam (landscape) mengikuti kebutuhan air yang sama, sehingga irigasi dapat dikelompokkan sesuai kebutuhan tanaman. Teknik ini dilakukan dengan cara mengelompokkan tanaman yang memiliki kebutuhan air yang sama dalam satu landscape. Pengelompokkan tanaman tersebut akan memberikan kemudahan dalam melakukan pengaturan air. Air irigasi yang dialirkan hanya diberikan sesuai kebutuhan tanaman, sehingga air dapat dihemat.
·         Penyesuaian jenis tanaman dengan karakteristik wilayah.
Teknik konservasi air ini dilakukan dengan cara mengembangkan kemampuan dalam menentukan berbagai tanaman alternatif yang sesuai dengan tingkat kekeringan yang dapat terjadi di masing-masing daerah. Sebagai contoh, tanaman jagung yang hanya membutuhkan air 0,8 kali padi sawah akan tepat jika ditanam sebagai pengganti padi sawah untuk antisipasi kekeringan. Pada daerah hulu DAS yang merupakan daerah yang berkelerengan tinggi, tanaman kehutanan menjadi komoditas utama.
·         Penentuan pola tanam yang tepat.
Penentuan pola tanam yang tepat, baik untuk areal yang datar ataupun berlereng. Pola tanam disesuaikan dengan kondisi curah hujan setempat untuk mengurangi deficit air pada musim kemarau. Besarnya kebutuhan air beberapa jenis tanaman dapat menjadi acuan dalam membuat pola tanam yang optimal.
2.        Pendekatan Sipil Teknis
·         Pembuatan teras pada lahan dengan lereng yang curam.
Pembuatan teras dilakukan, jika budidaya tanaman dilakukan pada lahan dengan kemiringan > 8%. Namun demikian, budidaya tanaman semusim sebaiknya menghindari daerah berlereng curam. Jenis-jenis teras untuk konservasi air juga merupakan teras untuk konservasi tanah, antara lain: teras gulud, teras buntu (rorak), teras kredit, teras individu, teras datar, teras batu, teras bangku, SPA, dan hillside ditches.

Teras gulud umumnya dibuat pada lahan yang berkemiringan 10-15 yang biasanya dilengkapi dengan Saluran Pembuangan Air yang tujuannya untuk mengurangi kecepatan air yang mengalir pada waktu hujan sehingga erosi dapat dicegah dan penyerapan air dapat diperbesar. Teras Bangku adalah teras yang dibuat dengan cara memotong lereng dan meratakan dengan di bidang olah sehingga terjadi deretan menyerupai tangga. Bermanfaat sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi.
Guludan adalah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong di antara barisan tanaman pagar. Sangat bermanfaat dalam mengurangi laju limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara terutama N untuk tanaman lorong, Bermanfaat untuk (1) memperbesar peresapan air ke dalam tanah; (2) memperlambat limpasan air pada saluran peresapan; dan (3) sebagai pengumpul tanah yang tererosi, sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang olah Rorak adalah lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan. 
·         Wind break
Wind break dibuat untuk mengurangi kecepatan angin sehingga mengurangi kehilangan air melalui permukaan tanah dan tanaman selama irigasi (evapotranspirasi). Kombinasi tanaman dengan tajuk yang berbeda sangat mendukung metode ini. Pola stage bouw (tajuk bertingkat) seperti di pekarangan tradisional adalah contoh yang baik untuk diterapkan.
  • Pemanenan Air hujan
Pemanenan air hujan merupakan salah satu alternatif dalam menyimpan air  hujan pada musim penghujan, dan untuk dapat digunakan pada musim kemarau. Beberapa teknik pemanenan air hujan yang telah dilakukan di beberapa negara yang beriklim kering (Timur Tengah dan Afrika Utara) adalah Bangunan teras, Penanaman searah kontur, DAM, Tadah Hujan, Kanal, Waduk, Mata Air galian dangkal dan berlubang-lubang, irigasi Pompa kecil dan wadi Bank.
Teknik pemanenan air yang telah dilakukan di Indonesia, antara lain embung dan channel reservoir. Embung merupakan suatu bangunan konservasi air yang berbentuk kolam untuk menampung air hujan dan air limpahan atau rembesan di lahan sawah tadah hujan berdrainase baik. Embung sangat tepat diterapkan pada kelerengan   0-30% dengan curah hujan 500-1.000 mm/tahun, bermanfaat untuk menyediakan air pada musim kemarau. Agar pengisian dan pendistribusian air lebih cepat dan mudah, embung hendaknya dibangun dekat dengan saluran air dan pada lahan dengan kemiringan 5-30%. Tanah-tanah bertekstur liat dan atau lempung sangat cocok untuk pembuatan embung.Teknik konservasi air dengan embung banyak diterapkan di lahan tadah hujan bercurah hujan rendah.
  • Dam Parit
Adalah suatu cara mengumpulkan atau membendung aliran air pada suatu parit dengan tujuan untuk menampung aliran air permukaan, sehingga dapat digunakan untuk mengairi lahan di sekitarnya. Dam parit dapat menurunkan aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi.
Keunggulan:
  1. Menampung air dalam volume besar akibat terbendungnya aliran air di saluran/parit.
  2. Tidak menggunakan areal/lahan pertanian yang produktif.
  3. Mengairi lahan cukup luas, karena dibangun berseri di seluruh daerah aliran sungai (DAS).
  4. Menurunkan kecepatan aliran permukaan, sehingga mengurangi erosi dan hilangnya lapisan  tanah atas yang subur serta sedimentasi.
  5. Memberikan kesempatan agar air meresap ke dalam tanah di seluruh wilayah DAS,  sehingga mengurangi risiko kekeringan pada musim kemarau.
  6. Biaya pembuatan lebih murah, sehingga dapat dijangkau petani.
3.      Konservasi Lahan Kering sebagai Pendukung GNKPA
Usaha konservasi air merupakan salah satu aspek pengelolaan air dalam usaha untuk meningkatkan pendayagunaan pemanfaatan air di bidang usahatani yang berkaitan dengan massa air yang masuk dan meninggalkan tubuh tanah. Konservasi air merupakan hal yang sangat relevan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering, mencegah bahaya banjir, kekeringan, dan tanah longsor.
Prinsip dasar dari konservasi air adalah menyimpan sebanyak-banyaknya air pada musim hujan dan memanfaatkan kembali pada musim kemarau. Meskipun cukup banyak teknik konservasi air yang dapat diimplementasikan di lahan kering, tetapi keberhasilannya sangat ditentukan oleh kondisi biofisik, sosial ekonomi, dan keinginan petani. Hal tersebut perlu dicermati mengingat tidak ada satupun teknik konservasi air yang sempurna. Setiap teknik konservasi air konservasi membutuhkan persyaratan tertentu agar teknik tersebut efektif. Hal yang paling penting dari penerapan suatu teknik konservasi dalam pengembangan lahan kering adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Masyarakat di daerah berlahan kering umumnya merupakan masyarakat miskin, terbelakang, beraksesibilitas rendah, tidak berdaya dan sebagainya. Dengan kondisi sosial ekonomi demikian, maka seringkali teknik konservasi air agak sulit dibangun dan diterapkan. Andaikan dapat diterapkan seringkali tidak dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pemahaman para perencana dan peneliti dalam pengembangan lahan kering seringkali menyederhanakan persoalan lahan kering hanya pada persoalan kondisi biofisik semata. Padahal persoalan utama dalam pengembangan lahan kering adalah persoalan sosial ekonomi selain ketersediaan air. Untuk itu, maka penerapan teknik konservasi air pada lahan kering harus mempertimbangkan kondisi biofisik, sosial ekonomi, kelembagaan, dan pilihan petani.
Hal terakhir ini seringkali dilupakan oleh para pengelola lahan kering. Petani berhak memilih teknik konservasi air yang paling dapat diterima dan menguntungkan dimata petani. Akomodasi kepentingan dan keinginan petani ini akan dapat lebih menjamin kelangsungan pengembangan lahan kering. Untuk dapat melakukan hal tersebut, pemberdayaan petani menjadi salah satu prioritas utama bersamaan dengan penerapan teknik konservasi air. Adanya keterpaduan kegiatan yang mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi, kelembagaan, dan keinginan petani, maka konservasi air dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pengembangan lahan kering sebagai upaya pendukung Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air.


DAFTAR PUSTAKA
Agus, dkk. 2002. Teknologi Hemat air dan Irigasi Suplemen Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat Balitbang Pertanian Departemen Pertanian.
Anonim. 1995. Lahan Kering dan Permasalahannya, Seri Usahatani Lahan Kering. Jakarta: Departemen Pertanian.
Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.
Badan Litbang Pertanian. 1998. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian Dalam Pelita VII. Jakarta: Kerjasama Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.
BP2TPDAS-IBB. 2002. Pedoman Praktik Konservasi  Tanah dan air Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat. Surakarta: Balitbang Kehutanan.











Ordo Tanah

ORDO TANAH

Klasifikasi Tanah
Klasifikasi genesis dikemukakan sekitar tahun 1880 oleh ilmuwan Rusia Dokuchaev. Kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti-peneliti Eropa dan Amerika. Sistem ini didasarkan pada teori bahwa setiap tanah mempunyai morfologi yang pasti (bentuk dan struktur) yang berkaitan dengan kombinasi faktor pembentuk tanah tertentu. System ini mencapai perkembangan maksimumnya pada tahun 1949 dan dalam penggunaan utama (terutama di Amerika Serikat) sampai tahun 1960.
Horizon Diagnosis
Horizon diagnosis yaitu permukaan disebut epipedon.  Taksonomi tanah membutuhkan definisi yang lebih tegas dari horizon-horison tanah, dan horizon diagnosis dikembangkan untuk diterapkan pada ordo yang sanagt ditentukan. Jenis-jenis horizon diagnosis (epipedon) yaitu:  Molik, Umbrik, Okrik, Histik, Antropik, Plagen, Argilik, Natrik, Spodik, Oksik, Kambrik, dan Agrik.   
Ordo Tanah pada Taksonomi Tanah
Ordo adalah kategori tertinggi dan pada taksonomi tanah terdapat 10 ordo, masing-masing berakhir dengan sol/solum (tanah) yaitu:
1.    Entisol adalah tanah yang sangat baru. Konsep pusat entisol adalah tanah di dalam regolit yang dalam atau bumi tanpa horizon kecuali suatu lapisan bajak.
2.    Vertisol adalah tanah yang berputar atau tanah terbalik .
3.    Inseptisol adalah tanah muda dengan perkembangan genesis horizon yang baru dimulai.
4.    Aridisol adalah tanah daerah kering.
5.    Molisol adalah tanah padang rumput dengan horizon permukaan “lembut” berwarna gelap yang tebal.
6.    Alfisol tanah yang terdapat pada daerah basa yang tercuci kapurnya.
7.    Ultisol adalah tanah yang sangat  tercuci, sangat rendah kandungan basanya.
8.    Oksisol adalah tanah tropika merah yang kaya akan oksida besi dan aluminium dan juga tanah liat.
9.    Histosol adalah tanah rawa yang tersusun terutama dari jaringan tumbuhan.
10. Spodosol adalah tanah yang terbentuk pada iklim basa dan kebanyakan dari bahan induk berpasir.
Anak Ordo
Ordo dibagi menjadi anak ordo terutama berdasarkan sifat kimia dan fisika yang mencerminkan ada atau tidak adanya kemamtapan air atau perbedaan genesis yang disebabkan oleh iklim dan variabel yang berhubungan sebagian, yaitu vegetasi.
Suku dan Seri
Suku menyatakan sifat yang penting bagi pertumbuhan tanaman seperti tekstur, susunan mineral atau suhu. Seri-seri tersebut menurun sampai ke individu tanah dan namanya merupakan sifat alami atau letak tanah dekat itu dikenal untuk pertama kali. Nama-nama seri suku meliputi Amarillo, Carlsbad, dan Fresno dan secara jelas mengacu pada tanah-tanah yang terletak di Texas, Mexico, dan California.




KOMENTAR
Tanah di dunia memiliki morfologi yang berbeda, dimana tiap-tiap tanah memiliki bentuk dan struktur yang berbeda dan berkaitan dengan kombinasi faktor pembentuk tanah tertentu. Selain itu, permukaan horizon epipedon diagnosis juga berbeda tergantung dari penyebaran dan penggunaannya. Oleh karena itu, perlu adanya suatu klasifikasi tanah untuk mempermudah seseorang mengenali jenis tanah tertentu dan dapat membedakannya dengan jenis tanah yang lain. Selain itu, klasifikasi tanah juga dapat memudahkan seseorang dalam hal penggunaan dan pengelolaan tanah tertentu. Tujuan akhir klasifikasi tanah adalah kepuasan maksimum dari keinginan manusia yang tergantung pada penggunaan tanah. Hal ini memerlukan pengelompokan tanah dengan sifat-sifat yang sama sehingga lahan dapat dikelola dengan efisien untuk produksi tanaman pertanian.
Kebanyakan penduduk dunia mencari nafkah dengan membajak tanah. Tanah secara langsung mempengaruhi kehidupan mereka setiap hari karena tanah menentukan bagaimana mereka membangun rumahnya dan jalan serta bagaimana mereka menumbuhkan tanaman pertanian. Sehingga  horizon diagnosis yang ada di dunia berebeda-beda tergantung dari penggunaan dan penyebarannya.
Salah satu pengelompokan tanah adalah ordo. Ordo tanah sangat penting untuk diketahui karena jenis ordo tanah menentukan jenis komoditas yang cocok ditanam pada jenis tanah tertentu. Jenis-jenis ordo tanah yaitu tanah Entisol, Vertisol, Inseptisol, Aridisol, Molisol, Alfisol, Ultisol, Oksisol, Histosol, dan Spodosol. Semua jenis-jenis ordo tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda dan karakteristik itulah yang akan mempermudah seseorang untuk mengenalinya. Sehingga seseorang dapat memprediksi dan menanam komoditas yang cocok ditanam pada jenis tanah tertentu.