KONSERVASI LAHAN KERING
Paradigma
pembangunan yang mengedepankan pertumbuhan ekonomi telah memacu pemanfaatan
sumberdaya alam secara berlebihan sehingga eksploitasi sumberdaya alam semakin
meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk dan kebutuhan manusia.
Akibatnya, sumberdaya alam semakin langka dan semakin menurun kualitas dan
kuantitasnya. Tanah yang rusak/kritis sangat sulit untuk dimanfaatkan menjadi
lahan yang bermanfaat, karena keterbatasan-keterbatasan dari lahan kritis itu
sendiri. Tanah yang rusak dengan kekurangannya sulit untuk menjaga lengas
tanah, yang berakibat pada sulitnya mendapatkan pada saat musim kemarau.
Sementara itu, tanah rusak tidak dapat menyimpan air di waktu musim penghujan,
sehingga hujan yang terjadi sebagian besar menjadi aliran permukaan yang dapat
menyebabkan erosi permukaan.
Data
Areal lahan kering di Indonesia menurut Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat
dalam Haryati (2002) tahun 1992 menunjukkan bahwa luas lahan usahatani kritis
telah mencapai ±18 juta hektar. Setelah hampir 13 tahun, lahan kritis pada
tahun 2005 cukup luas yaitu mencapai 52,5 juta ha yang tersebar di pulau Jawa dan
Bali (7,1 juta ha), Sumatera (14,8 juta ha), Kalimantan (7,4 juta ha), Sulawesi
(5,1 juta ha), Maluku dan Nusa Tenggara (6,2 juta ha), dan Irian Jaya (11,8
juta ha).
Potensi
yang demikian besar harus dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan. Namun, pemanfaatan
lahan kering tersebut harus berhati-hati karena sebagian besar lahan kering
tersebut tersebar di hulu DAS yang bentuk wilayahnya berbukit dengan curah
hujan yang cukup tinggi. Kondisi demikian akan memicu erosi yang berakibat pada
degradasi lahan. Lahan kering umumnya menjadikan air sebagai faktor pembatas
yang utama dalam pengelolaannya. Oleh karena itu, ketersediaan air menjadi
sesuatu yang sangat penting dalam pengelolaan lahan kering.
Untuk
dapat menjamin adanya ketersediaan air baik di musim penghujan dan musim
kemarau (iklim tropis) diperlukan beberapa teknogi yang applicable dan
hemat biaya karena petani lahan kering umumnya miskin. Beberapa penelitian
konservasi air telah dilakukan dan diujicobakan pada berbagai tempat untuk
dapat memaksimalkan simpanan air hujan dan mengoptimalkan manfaat sumberdaya
air terutama di musim kemarau. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan teknik
konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.
Terjadinya
lahan-lahan kritis yang pada dasarnya berada di wilayah DAS (Daerah Aliran
Sungai) tidak saja menyebabkan menurunnya produktivitas tanah ditempat
terjadinya lahan kritis itu sendiri, tetapi juga menyebabkan rusaknya fungsi
hidrologis DAS dalam menahan, menyimpan dan meresapkan air hujan yang jatuh
pada kawasan DAS tersebut. Kegiatan rehabilitasi dan konservasi lahan terpadu
pada lahan kering kritis pada wilayah DAS ini sangat relevan dalam mendukung
GNKPA (Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air) yang telah dicanangkan oleh
Bapak Presiden Republik Indonesia pada tanggal 28 April 2005. Gerakan ini
merupakan gerakan nasional terpadu antar sektor dan pemangku kepentingan
lainnya yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan siklus hidrologi pada
seluruh wilayah DAS di Indonesia. Tulisan ini berusaha untuk menguraikan
teknik konservasi air yang dapat diterapkan pada lahan kering.
Metode
Konservasi
·
Metode
Vegetatif
Metode
vegetatif yaitu metoda konservasi dengan menanam berbagai jenis tanaman seperti
tanaman penutup tanah, tanaman penguat teras, penanaman dalam strip, pergiliran
tanaman serta penggunaan pupuk organik dan mulsa. Pengelolaan tanah secara
vegetatif dapat menjamin keberlangsungan keberadaan tanah dan air karena
memiliki sifat: (1) memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistem
perakaran dengan memperbesar granulasi tanah, (2) penutupan lahan oleh seresah
dan tajuk mengurangi evaporasi, (3) disamping itu dapat meningkatkan aktifitas
mikroorganisme yang mengakibatkan peningkatan porositas tanah, sehingga
memperbesar jumlah infiltrasi dan mencegah terjadinya erosi. Fungsi lain
daripada vegetasi berupa tanaman kehutanan yang tak kalah pentingnya yaitu
memiliki nilai ekonomi sehingga dapat menambah penghasilan petani.
·
Metode
Sipil Teknis
Metode
sipil teknis yaitu suatu metoda konservasi dengan mengatur aliran permukaan
sehingga tidak merusak lapisan olah tanah (Top Soil) yang bermanfaat bagi
pertumbuhan tanaman. Usaha konservasi dengan metoda sipil teknis ini yaitu
membuat bangunan-bangunan konservaasi antara lain pengo-lahan tanah menurut
kontur, pembuatan guludan, teras, dan saluran air (Saluran Pembuanga air,
Terjunan dan Rorak).
Aplikasi
Konservasi
1.
Pendekatan
Vegetatif
·
Sistem
Pertanaman Lorong
Sistem
pertanaman lorong ialah suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong
di antara barisan tanaman pagar. Sangat bermanfaat dalam mengurangi laju
limpasan permukaan dan erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara
terutama N untuk tanaman lorong.
Pada budidaya
lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara
barisan tanaman pagar yang ditanam menurut kontur. Barisan tanaman pagar
yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi
pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur
hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke
permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar.
·
Sistem
Pertanaman Strip Rumput
Sistem
Pertanaman Strip Rumput ialah sistem pertanaman yang hampir sama dengan
pertanaman lorong, tetapi tanaman pagarnya adalah rumput. Strip rumput dibuat
mengikuti kontur dengan lebar strip 0,5 m atau lebih. Semakin lebar strip
semakin efektif mengendalikan erosi. Sistem ini dapat diintegrasikan dengan
ternak. Penanaman dilakukan menurut garis kontur dengan letak penanaman dibuat
selang-seling agar rumput dapat tumbuh baik, usahakan penanamannya pada awal
musim hujan.
·
Tanaman
Penutup Tanah
Merupakan
tanaman yang ditanam tersendiri atau bersamaan dengan tanaman pokok. Tanaman
penutup tanah berperan: (1) menahan atau mengurangi daya perusak butir-butir
hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah, (2) menambah bahan
organik tanah melalui batang, ranting dan daun mati yang jatuh, dan (3)
melakukan transpirasi, yang mengurangi kandungan air tanah. Peranan tanaman
penutup tanah tersebut menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi
jumlah serta kecepatan aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi air ke dalam
tanah, sehingga mengurangi erosi.
Ada 4 (empat) jenis tanaman penutup tanah,
yaitu :
1. Jenis merambat (rendah) contoh :
Colopogonium moconoides, Centrosoma sp, Ageratum conizoides,Pueraria sp.
2. Jenis perdu/semak (sedang) contoh :
Crotalaria sp, Acasia vilosa,
3. Jenis pohon (tinggi) contoh –
Leucaena leucephala (lamtoro gung), Leucaena glauca (lamtoro lokal), Ablizia
falcataria
4. Jenis kacang-kacangan contoh : Vigna
sinensis, Doli-chos lablab (komak).
·
Mulsa
Mulsa ialah
bahan-bahan (sisa-sisa panen, plastik, dan lain-lain) yang disebar atau
digunakan untuk menutup permukaan tanah. Bermanfaat untuk mengurangi
penguapan (evaporasi) serta melindungi tanah dari pukulan langsung butir-butir
hujan yang akan mengurangi kepadatan tanah. Macam Mulsa dapat berupa, mulsa
sisa tanaman, lembaran plastki dan mulsa batu. Mulsa sisa tanaman ini terdiri
dari bahan organik sisa tanaman (jerami padi, batang jagung), pangkasan dari
tanaman pagar, daun-daun dan ranting tanaman.
Pada sistem
agribisnis yang intensif, dengan jenis tanaman bernilai ekonomis tinggi, sering
digunakan mulsa plastik untuk mengurangi penguapan air dari tanah dan menekan
hama dan penyakit serta gulma. Lembaran plastik dibentangkan di atas permukaan
tanah untuk melindungi tanaman. Di pegunungan batu-batu cukup banyak tersedia
sehingga bisa dipakai sebagai mulsa untuk tanaman pohon-pohonan. Permukaan
tanah ditutup dengan batu yang disusun rapat hingga tidak terlihat lagi. Ukuran
batu-batu berkisar antara 2-10 cm.
Thamrin dan
Hanafi (1992) telah melakukan penelitian pengaruh mulsa terhadap tanah di lahan
kering. Mulsa yang digunakan adalah seresah tanaman. Hasilnya menunjukkan
bahwa pemberian mulsa dapat menghemat lengas tanah dari proses penguapan,
sehingga kebutuhan tanaman akan lengas tanah terutama musim kering dapat terjamin.
Selain itu, pemberian mulsa juga dapat menghambat pertumbuhan gulma yang
mengganggu tanaman sehingga konsumsi air lebih rendah.
·
Pengelompokan
tanaman dalam suatu bentang alam (landscape)
Pengelompokan
tanaman dalam suatu bentang alam (landscape) mengikuti kebutuhan air yang sama,
sehingga irigasi dapat dikelompokkan sesuai kebutuhan tanaman. Teknik ini
dilakukan dengan cara mengelompokkan tanaman yang memiliki kebutuhan air yang
sama dalam satu landscape. Pengelompokkan tanaman tersebut akan memberikan
kemudahan dalam melakukan pengaturan air. Air irigasi yang dialirkan hanya
diberikan sesuai kebutuhan tanaman, sehingga air dapat dihemat.
·
Penyesuaian
jenis tanaman dengan karakteristik wilayah.
Teknik
konservasi air ini dilakukan dengan cara mengembangkan kemampuan dalam
menentukan berbagai tanaman alternatif yang sesuai dengan tingkat kekeringan
yang dapat terjadi di masing-masing daerah. Sebagai contoh, tanaman jagung yang
hanya membutuhkan air 0,8 kali padi sawah akan tepat jika ditanam sebagai
pengganti padi sawah untuk antisipasi kekeringan. Pada daerah hulu DAS yang
merupakan daerah yang berkelerengan tinggi, tanaman kehutanan menjadi komoditas
utama.
·
Penentuan
pola tanam yang tepat.
Penentuan pola
tanam yang tepat, baik untuk areal yang datar ataupun berlereng. Pola tanam
disesuaikan dengan kondisi curah hujan setempat untuk mengurangi deficit air
pada musim kemarau. Besarnya kebutuhan air beberapa jenis tanaman dapat menjadi
acuan dalam membuat pola tanam yang optimal.
2.
Pendekatan
Sipil Teknis
·
Pembuatan
teras pada lahan dengan lereng yang curam.
Pembuatan teras
dilakukan, jika budidaya tanaman dilakukan pada lahan dengan kemiringan >
8%. Namun demikian, budidaya tanaman semusim sebaiknya menghindari daerah
berlereng curam. Jenis-jenis teras untuk konservasi air juga merupakan teras
untuk konservasi tanah, antara lain: teras gulud, teras buntu (rorak), teras
kredit, teras individu, teras datar, teras batu, teras bangku, SPA, dan
hillside ditches.
Teras gulud
umumnya dibuat pada lahan yang berkemiringan 10-15 yang biasanya dilengkapi
dengan Saluran Pembuangan Air yang tujuannya untuk mengurangi kecepatan air
yang mengalir pada waktu hujan sehingga erosi dapat dicegah dan penyerapan air
dapat diperbesar. Teras Bangku adalah teras yang dibuat dengan cara memotong
lereng dan meratakan dengan di bidang olah sehingga terjadi deretan menyerupai
tangga. Bermanfaat sebagai pengendali aliran permukaan dan erosi.
Guludan adalah
suatu sistem di mana tanaman pangan ditanam pada lorong di antara barisan
tanaman pagar. Sangat bermanfaat dalam mengurangi laju limpasan permukaan dan
erosi, dan merupakan sumber bahan organik dan hara terutama N untuk tanaman
lorong, Bermanfaat untuk (1) memperbesar peresapan air ke dalam tanah; (2)
memperlambat limpasan air pada saluran peresapan; dan (3) sebagai pengumpul
tanah yang tererosi, sehingga sedimen tanah lebih mudah dikembalikan ke bidang
olah Rorak adalah lubang atau penampang yang dibuat memotong lereng yang
berfungsi untuk menampung dan meresapkan air aliran permukaan.
·
Wind
break
Wind break
dibuat untuk mengurangi kecepatan angin sehingga mengurangi kehilangan air
melalui permukaan tanah dan tanaman selama irigasi (evapotranspirasi).
Kombinasi tanaman dengan tajuk yang berbeda sangat mendukung metode ini. Pola
stage bouw (tajuk bertingkat) seperti di pekarangan tradisional adalah contoh
yang baik untuk diterapkan.
- Pemanenan Air hujan
Pemanenan air
hujan merupakan salah satu alternatif dalam menyimpan air hujan pada
musim penghujan, dan untuk dapat digunakan pada musim kemarau. Beberapa teknik
pemanenan air hujan yang telah dilakukan di beberapa negara yang beriklim
kering (Timur Tengah dan Afrika Utara) adalah Bangunan teras, Penanaman searah
kontur, DAM, Tadah Hujan, Kanal, Waduk, Mata Air galian dangkal dan
berlubang-lubang, irigasi Pompa kecil dan wadi Bank.
Teknik pemanenan
air yang telah dilakukan di Indonesia, antara lain embung dan channel
reservoir. Embung merupakan suatu bangunan konservasi air yang berbentuk kolam
untuk menampung air hujan dan air limpahan atau rembesan di lahan sawah tadah
hujan berdrainase baik. Embung sangat tepat diterapkan pada kelerengan 0-30% dengan curah hujan 500-1.000
mm/tahun, bermanfaat untuk menyediakan air pada musim kemarau. Agar
pengisian dan pendistribusian air lebih cepat dan mudah, embung hendaknya
dibangun dekat dengan saluran air dan pada lahan dengan kemiringan
5-30%. Tanah-tanah bertekstur liat dan atau lempung sangat cocok untuk
pembuatan embung.Teknik konservasi air dengan embung banyak diterapkan di lahan
tadah hujan bercurah hujan rendah.
- Dam Parit
Adalah suatu
cara mengumpulkan atau membendung aliran air pada suatu parit dengan tujuan
untuk menampung aliran air permukaan, sehingga dapat digunakan untuk mengairi
lahan di sekitarnya. Dam parit dapat menurunkan aliran permukaan, erosi, dan
sedimentasi.
Keunggulan:
- Menampung air dalam volume besar akibat terbendungnya aliran air di saluran/parit.
- Tidak menggunakan areal/lahan pertanian yang produktif.
- Mengairi lahan cukup luas, karena dibangun berseri di seluruh daerah aliran sungai (DAS).
- Menurunkan kecepatan aliran permukaan, sehingga mengurangi erosi dan hilangnya lapisan tanah atas yang subur serta sedimentasi.
- Memberikan kesempatan agar air meresap ke dalam tanah di seluruh wilayah DAS, sehingga mengurangi risiko kekeringan pada musim kemarau.
- Biaya pembuatan lebih murah, sehingga dapat dijangkau petani.
3. Konservasi Lahan Kering sebagai Pendukung
GNKPA
Usaha
konservasi air merupakan salah satu aspek pengelolaan air dalam usaha untuk
meningkatkan pendayagunaan pemanfaatan air di bidang usahatani yang berkaitan
dengan massa air yang masuk dan meninggalkan tubuh tanah. Konservasi air
merupakan hal yang sangat relevan untuk meningkatkan produktivitas lahan
kering, mencegah bahaya banjir, kekeringan, dan tanah longsor.
Prinsip
dasar dari konservasi air adalah menyimpan sebanyak-banyaknya air pada musim
hujan dan memanfaatkan kembali pada musim kemarau. Meskipun cukup banyak teknik
konservasi air yang dapat diimplementasikan di lahan kering, tetapi
keberhasilannya sangat ditentukan oleh kondisi biofisik, sosial ekonomi, dan
keinginan petani. Hal tersebut perlu dicermati mengingat tidak ada satupun
teknik konservasi air yang sempurna. Setiap teknik konservasi air konservasi
membutuhkan persyaratan tertentu agar teknik tersebut efektif. Hal yang paling
penting dari penerapan suatu teknik konservasi dalam pengembangan lahan kering
adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Masyarakat
di daerah berlahan kering umumnya merupakan masyarakat miskin, terbelakang,
beraksesibilitas rendah, tidak berdaya dan sebagainya. Dengan kondisi sosial
ekonomi demikian, maka seringkali teknik konservasi air agak sulit dibangun dan
diterapkan. Andaikan dapat diterapkan seringkali tidak dapat berlangsung secara
berkelanjutan. Pemahaman para perencana dan peneliti dalam pengembangan lahan
kering seringkali menyederhanakan persoalan lahan kering hanya pada persoalan
kondisi biofisik semata. Padahal persoalan utama dalam pengembangan lahan
kering adalah persoalan sosial ekonomi selain ketersediaan air. Untuk itu, maka
penerapan teknik konservasi air pada lahan kering harus mempertimbangkan
kondisi biofisik, sosial ekonomi, kelembagaan, dan pilihan petani.
Hal
terakhir ini seringkali dilupakan oleh para pengelola lahan kering. Petani
berhak memilih teknik konservasi air yang paling dapat diterima dan
menguntungkan dimata petani. Akomodasi kepentingan dan keinginan petani ini
akan dapat lebih menjamin kelangsungan pengembangan lahan kering. Untuk dapat
melakukan hal tersebut, pemberdayaan petani menjadi salah satu prioritas utama
bersamaan dengan penerapan teknik konservasi air. Adanya keterpaduan kegiatan
yang mencakup aspek biofisik, sosial ekonomi, kelembagaan, dan keinginan
petani, maka konservasi air dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif
pengembangan lahan kering sebagai upaya pendukung Gerakan Nasional Kemitraan
Penyelamatan Air.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, dkk. 2002. Teknologi Hemat air dan Irigasi Suplemen
Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat Balitbang Pertanian Departemen Pertanian.
Anonim. 1995. Lahan
Kering dan Permasalahannya, Seri Usahatani Lahan Kering. Jakarta: Departemen
Pertanian.
Asdak, C. 1995. Hidrologi
dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity
Press.
Badan Litbang Pertanian. 1998. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Teknologi untuk
Pengembangan Sektor Pertanian Dalam Pelita VII. Jakarta: Kerjasama Proyek
Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional dengan Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat.
BP2TPDAS-IBB. 2002. Pedoman
Praktik Konservasi Tanah dan air Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Barat. Surakarta:
Balitbang Kehutanan.